Rabu, 16 Mei 2012

DETIK

Sejak tubuhku ditusuk dengan jarum yang sangat besar, hidupku terasa hampa. Jarum yang tepat menusuk perutku membawa luka yang besar. Sakit itu terasa akan terus menusuk sampai jarum itu berhenti berputar mengikis perihku. Aku bingung mengapa orang itu tiba-tiba menusukku begitu dalam. Mengapa dia begitu tega?. Apa dia tahu aku merasa sakit karenanya?.
Sumber : google.com
Kejadian itu masih tersimpan dalam memoriku. Itu akan menjadi ukiran sejarah terpahit. Namun kuharus tetap bersyukur karena masih dapat hidup sampai saat ini. Yah, kejadian itu membuatku harus tetap diam dan mencoba untuk tetap tegar.

Aku bagai seorang putri di keranda kaca yang setiap hari hanya memasang wajah yang menawan. Tapi mereka yang melihatku tak tahu betapa sakitnya aku terkurung di tempat ini. Tempat yang memang indah. Namun tak ada yang dapat kulakukan disini. Aku tak dapat menikmati indahnya dunia, tak dapat menghirup udara luar, tak dapat bercanda dan tertawa bersama teman, tak dapat melihat matahari terbit dan terbenam, tak dapat menikmati musim panas dan musim dingin. Yang kurasakan statis, hampa…

Setiap detik kuhanya tersenyum indah pada semua orang yang melihatku dari luar sana. Mereka menatapku dengan sorotan mata yang berbeda-beda. Namun yang kulakukan hanya terus tersenyum. Apa sebenarnya yang terlintas dalam benak mereka saat menatapku?  Apa mereka tahu yang kurasakan? Apa mereka sama sekali tak peduli? Apa mereka justru  mengerti kesedihanku dan ingin menyelamatkanku dari tempat ini? Atau hanya sekedar terpukau dengan senyumku?. Pertanyaan itu ‘kan terus hadir setiap orang-orang menatapku.

Aku selalu berharap suatu saat nanti ada pangeran yang akan menyelamatkanku dari tempat ini dan memberiku kehidupan yang nyata dan layak. Aku selalu bedoa agar hari itu kelak akan tiba. Hari yang kunantikan sejak kudilahirkan. Sejak kebahagiaanku terusik dan saat kumerasa terkurung di tempat ini.
***
Tiba-tiba ada seorang pria setengah baya yang berusia sekitar 54 tahun. Dia berdiri tepat di hadapanku. Memandangiku begitu lama. Sesekali ia tersenyum padaku. Ada apa dengan bapak ini? Apa yang ia pikirkan? Aku canggung dan sangat bingung. Ada rasa takut dalam benakku ketika melihat bapak itu. Bapak ini kenapa? Apa dia orang baik? Namun kenapa tatapannya seperti itu?. Aku terus bertanya dalam hati berharap ada yang dapat memberiku jawaban yang pasti.

Setelah beberapa lama bapak itu memandangiku, dia memberanikan diri menarikku keluar dari tempat ini. Hey.. aku ingin memberontak dan ingin berteriak kencang agar semua orang mendengarkanku. Bapak yang aneh menarik tanganku dan menyentuhku. Aku merasa sangat geli. Aku merasa bapak ini akan berlaku jahat padaku.

Aku memang sangat menantikan pangeran untuk mengeluarkanku dari keranda kaca ini. Tapi bukan seorang bapak tua ini. Apa bapak ini adalah pangeran yang menjadi jawaban atas doaku selama ini? Oh..Tuhan. terimah kasih. Tapi kumohon jangan bapak ini.

Hatiku berkecamuk. Mataku berkaca-kaca ingin menangis. Wajahku memerah marah. Aku tidak ingin pergi bersama bapak ini. Aku tidak ingin. Namun apa dayaku? Aku tidak punya orang tua yang dapat menahan bapak ini membawaku pergi. Aku tidak punya saudara yang dapat membelaku. Aku hanya punya majikan yang ternyata bahagia ketika bapak ini memintaku darinya. Dia terlihat begitu senang ketika kuhendak dibawa pergi bapak ini. Mungkin ini nasib yang harus kuterima. Inilah akhir hidupku. Yatim, sebatang kara, dan aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup.

Mengapa seorang yang menjagaku selama ini rela melepasku untuk pergi bersama bapak ini? Aku takut. Aku kecewa. Aku marah. Aku sangat sedih. Apa dia memang tak menyayangiku? Dia selama ini merawatku hanya untuk dipamerkan, dan akhirnya dijual? Kasihan sekali nasibku ini.

Aku hanya terdiam mengingat tak ada yang dapat kulakukan lagi. Aku ingin memberontak dan kembali kepada majikanku itu. Namun aku sadar dia tak mengharapkanku dan mungkin baginya aku hanyalah benalu. Aku pasrah dengan takdirku. Entah apa yang ‘kan terjadi denganku. Bapak ini mengapa terus menatapku dengan pandangan seperti itu? Mau dibawa ke mana aku?. Aku hanya memasang wajah murung dan terus bertanya dalam hati.
***
Aku sampai pada sebuah istana yang megah. Mungkin ini rumah bapak itu. W0w.. sangat indah. Aku merasa sangat lelah menempuh tiga jam perjalanan menuju rumah bagai istana ini. Namun lelah yang kurasakan seakan pupus ketika melihat suasana indah yang sebelumnya tak pernah kujumpai. Pepohonan rindang yang mengitari rumah ini. Taman yang dihiasi warna-warni bunga yang elok. Ukiran dan pahatan yang memukau menjadi pelengkap indahnya istana ini. Aku disambut dengan cucuran air mancur yang membawaku terlelap dalam kedamaian. Aku tak henti memandangi  rumah ini dengan rasa begitu takjub.

Papaaa..!

Teriakan seorang gadis menghampiri dan langsung memeluk bapak tadi. Gadis yang cantik dengan balutan jilbab ungu yang sepadan dengan baju kaos putih bercelana jeans. Gadis yang berusia 17 tahun itu begitu manis dengan senyumnya yang sangat memukau. Gadis itu putih, Bibirnya pink, bulu mata yang lentik melindungi indah sorot matanya. Gadis itu terlihat sangat bahagia dan mungkin sangat rindu pada bapak tadi.

Anakku sayang..!

Hm.. ternyata bapak ini adalah ayah gadis itu. Mungkin mereka berdua sudah lama tak bertemu. Meraka saling melepas rindu dengan berpelukan. Pemandangan yang indah. Kebahagiaan keluarga yang tidak pernah kurasakan. Kebahagiaan memiliki seorang ayah yang menyayangi anaknya. Aku ingin punya ayah seperti gadis itu. gadis yang sempurna. cantik, solehah, dan bahagia.

Ternyata sosok menyeramkan  bapak tadi luluh dengan kelembutannya pada gadis itu. Hm.. tapi aku masih bingung. Kenapa aku berada di sini? Apa yang kulakukan? Untuk apa bapak itu mambawaku ke rumah ini? Untuk menonton adegan mengharukan ini? Aneh.

Yah..setelah adegan itu aku tahu jawaban kenapa aku berada di tempat ini. Bapak itu memperkenalkanku dengan gadis tadi. Ternyata nama gadis itu Gladis. Nama yang indah. Gladis menjabat tanganku. Tangannya begitu halus. Dia tersenyum indah padaku. Matanya berbinar melihatku. Aku merasa dia menyukaiku. Aku sekarang mengerti. Bapak tadi membawaku sebagai kado ulang tahun ke 17 pada Gladis.

Aku bahagia dapat bertemu Gladis. Sepertinya dia akan menjadi sahabat dan saudara terindah. Semoga dia dapat menyayangiku juga seperti aku mengagumi dan menyayangi dia. Aku belum pernah mempunyai teman, sahabat, apalagi saudara.
***
Hari-hari kujalani bersama saudara baruku ini. Aku sangat bahagia bersamanya. Aku merasa dia sangat menyayangiku. Kami saling berbagi. Dia selalu mengajakku ikut bersamanya ke mana pun dia pergi. Marawatku bagaikan aku adik kandungnya. Selalu memerhatikan penampilanku. Selalu membantuku membersihkan bajuku ketika ada noda yang menghampiriku.

Impian terindah telah kugapai. Kumerasa benar-benar hidup. Kumerasa memiliki jati diri yang selama ini hilang dariku. Kepercayaan diriku kini perlahan tumbuh. Aku sudah mulai merasa berguna bagi orang lain. Aku merasa dibutuhkan dan merasa sangat disayangi. Aku mulai menyadari tak ada hal yang sia-sia. Aku diciptakan karena ada hal yang pasti. Bukan hanya menjadi pelengkap sandiwara dunia. Sakit yang selama ini kurasakan terkikis oleh waktu dan bahagiaku bersamanya.
***
Hari yang berbeda. Aku tak pernah melihatnya. Ke mana dia? Kenapa dia tak membangunkanku? Kenapa dia meninggalkanku?. Aku hanya terdiam di tempat tidurku seraya berpikir mencarinya. Hari ini sangat sunyi. Tak satu pun orang di rumah ini. Aku semakin gelisah. Apa aku terlupakan oleh mereka? Mungkin mereka pergi rekreasi. Atau pergi acara keluarga? Tapi, mengapa tak satu pun mengajakku? Apa mereka lupa denganku? Atau mereka terusik dengan keberadaanku?. Semua pikiran menggerogotiku saat ini. Entah rasa cemas, takut, bingung, semua menjadi satu.
***
Seminggu kuhanya terdiam di kamar. Tanpa seorangpun melihatku. Ada apa ini? Aku kini merasakan kesendirian yang begitu dahsyat. Tanda tanya besar dalam benakku belum bisa terjawab. Aku menjalani minggu ini sendiri. Tanpa Gladis, orang tuanya, adik-adik Gladis yang lucu. Aku tak dapat lagi mendengar tawa mereka. Tak dapat ladi melihat kebahagiaan mereka. Tak dapat lagi pergi bersenang-senang. Tak dapat menikmati indahnya gulungan ombak setiap malam minggu bersama mereka. Keluarga harmonis yang selalu mengiasi hidupku kini perlahan sirna. Ke mana mereka?????...
***
Memecah heningku suara gesekan pintu terdengar. Suara yang tak pernah terdengar seminggu ini. Suara yang diiringi seorang gadis cantik memasuki kamarku. Ya.. seorang yang kucari selama ini. Gladis diikuti ayah, ibu dan adik-adiknya. Aku belum dapat berkata-kata. Aku hanya terdiam melihat Gladis yang terlihat begitu murung dan sedih. Pandangannya kosong. Wajahnya pucat. Senyum indahnya dulu tak terlihat olehku. Dia sama sekali tak menyapaku. Dia tak menoleh padaku walau hanya sedetik. Dia dituntun ibunya duduk didepan jendela kamarku. Sesekali tetesan air mata membasahi pipinya. Setelah beberapa saat Gladis ditinggal sendiri oleh keluarganya dengan diakhiri kecupan manis dari orang tuanya.

Aku ingin sekali memeluk Gladis. Ingin menyapanya. Ingin menanyakan kabarnya. Ingin tahu ke mana dia selama ini. Aku sangat rindu dengannya. Rindu dengan senyumnya. Rindu dengan binaran indah sorotan matanya. Canda tawanya, keceriaannya, dan kebersamaan dengannya.

Namun aku hanya dapat menahan itu semua dengan hanya berharap semua ‘kan baik-baik saja. Mengapa dia tak menyapaku? Dia tak merasa keberadaanku? Kenapa dia terlihat begitu sedih? Semua tanyaku tak dapat terjawab selama dia terus bersikap dingin padaku.
***
Tiga jam berlalu dan dia tetap diam terpaku di depan jendela. Pandangan yang kosong dengan tetesan berlian dari matanya menjadi pemandangan yang kulihat selama 3 jam. Kesedihan seakan menusuk jauh dalam hatinya.
***
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrggggggghhhhhhhhhh!!!!!!!!!!
Teriakan yang membuatku sangat kaget. Teriakan yang tak pernah kusangka terlontar dari Gladis. Dia menangis begitu dalam. Dia melempar semua benda sekitarnya. Dia tersandung lalu terjatuh.tersandung, terjatuh. Dia memberontak dan terus mengitari kamar ini. Mengambil barang yang dapat dia capai lalu melempar semuanya.

Selama satu menit kejadian yang membuatku tercengang. Aku ingin menghentikannya namun ku tak berdaya melakukannya. Aku bingung melihat tingkah Gladis yang semakin aneh. Diam dan tiba-tiba memberontak. Kamar ini pun terlihat begitu kacau hanya dalam satu menit saja.

Setiap Gladis melangkah dia selalu tersandung dengan barang yang dia lemparkan tadi. Terjatuh dan terus mencoba berjalan. Namun tetap saja dia akan terus terjatuh. Sampai pada akhirnya dia terdiam dan duduk sambil menangis sangat dalam.

Ayah dan ibunya datang melihat Gladis. Ayahnya membantu Gladis berdiri dan membaringkannya di tempat tidur. Sementara ibunya mencoba membereskan kamar yang sangat berantakan karena Gladis. Gladis hanya terus menangis. Menangis hingga dia terlelap.

Aku semakin bingung. Mengapa tak kunjung datang jawaban dari semua tanyaku? Aku sedih melihat Gladis yang sangat terpuruk. Aku ingin dia tahu aku akan ada untuknya. Aku ingin dia tahu aku sangat ingin membantu setiap kesulitan yang dia rasakan. Namun mengapa dia seakan tak merasakan keberadaanku? Aku ingin mengembalikan senyumnya. Bukan melihat tangisnya.

Orang tua Gladis menangis dan sedih melihat Gladis yang sedang terlelap. Aku mencoba mendengar percakapan mereka. Serentak jantungku seakan tak dapat berdetak. setelah mendengar kebenaran itu, aku kini tahu mengapa Gladis terlihat begitu sedih. Aku kini tahu mengapa Gladis tak pernah menoleh padaku. Aku kini tahu mengapa Gladis tak lagi memerhatikanku.

Bukan karena dia tak peduli denganku. Bukan karena dia melupakanku. Bukan karena dia tak ingin menceritakan semua kepadaku. Bukan juga karena dia membenciku.

Tapi karena dia tak tahu keberadaanku. Dia tak dapat melihat di mana kini kuberpijak. Dia tak dapat menyentuhku dan memelukku seperti dulu karena dia tak tahu. kini dia tak dapat menjadi Gladis yang dulu. Dia telah mengalami kecelakaan yang merenggut penglihatannya.

Mata yang memberi warna dalam hidupnya. Mata yang membuat dia bahagia. Mata yang membuatnya dapat tersenyum indah. Mata yang memperlihatkan isi dunia kepadanya. Mata yang membuatnya sangat sempurna.
Kini dia hanya dapat melihat kegelapan. Memiliki mata namun semua tak dapat dia nikmati lagi. Elok mentari yang terbit dan terbenam hanya dapat dia rasakan. Canda tawa dan kebahagiaan hanya dapat dia dengarkan. Aku sangat mengerti betapa sedihnya dia. Betapa perih yang dia rasakan. Betapa hancur jiwanya. Aku mengerti dia pasti terguncang dan belum dapat menerima semua takdir yang menimpanya.

Aku ingin dia tahu aku selalu menyayanginya dan berharap dia dapat melewati ini semua dengan keikhlasan dan kembali tersenyum. Aku tak henti memandangi wajahnya yang sedang terlelap. Dia begitu polos. Dia anggun dan menawan. Semua yang menimpanya adalah ujian untuknya.

Aku memang tak dapat berbuat apa-apa yang dapat membuatnya bahagia. Aku juga tak dapat menghibur dan mengembalikan kebahagiaannya yang terenggut. Tapi kuhanya dapat mendoakannya. Aku hanya dapat berharap dan mamanjat doa pada ALLAH SWT agar dia diberi ketegaran.
Karena aku.. hanya sebuah Jam tangan.
***

2 komentar: