Senja
di sore hari memang indah. Tapi apakah akan tetap indah jika kumenikmati ini
sendiri dengan rasa tak kunjung tentu.? Galau. Lagi tren kayaknya. Tapi aku
justru bingung galau itu apa. Dalam defenisiku, galau semacam rasa tak tentu. Setiap
kumerasa seperti itu, bilang deh galau. Tapi tak penting. Yang penting itu,
sekarang aku benar-benar merasa sepi.
Aku
termenung memandang langit yang seolah tersenyum padaku. Binar lengkung pelangi
di atas sana seakan menjemputku bak bidadari surga. Haha. Indah yah.? Aku kembali
tersenyum dan bertanya pada langit. Sampai kapan kau ‘kan tersenyum padaku? Sampai
kapan kau ‘kan menjadi sahabat setiap langkahku.? Maklum, setiap aku galau ya
spontan melihat ke langit.
Langit
menjadi sandaran ketika ku ingin menangis. Langit juga menjadi pendengar yang
baik ketika ku ingin bersorak, menepi termenung, ataupun hanya terdiam bisu. Ya,
langit adalah salah satu ciptaan Allah swt yang sepertinya selalu mengerti
suasana hatiku. Langit pun tak pernah diam. Bijak tutur yang terdengar darinya
selalu memberiku senandung semangat. Pokoknya kalau lihat Langit biru yang
membentang menyelimuti bumi ini pengen bilang w0w..
***
21
Juni 2013.
Hari
ini aku ingin berjalan-jalan ke beberapa tempat yang telah ku torehkan dalam buku
list perjalananku. Rencananya, hari ini aku ingin ke UNM. Aku punya beberapa
teman di sana. Lama juga tak menghampiri kampus itu. Tapi apakah teman-teman
kecilku masih sering berada di sana.? Seingatku, 1 tahun lamanya tak menyapa
mereka.
Melangkahkan
kakiku keluar dari rumah memang berat. Selama ini, aku sangat susah mencari
teman. Aku juga tak tahu mengapa banyak yang tak menyukaiku.? Apa karena aku
jelek.? Ah tida juga. Apa karena aku ini menakutkan.? Tapi aku ini hanya ingin
mencari teman. Diusiaku yang terbilang dewasa, aku hanya mendapat sedikit teman
di hamparan bumi yang luas ini. Ya,
mengingat hal ini membuatku menatap ke langit pagi yang cerah.
“Langit,
menurutmu tak apakah jika aku menyapa temanku di UNM pagi ini?”
Langit
hanya tersenyum. Baiklah. Aku memberanikan diri keluar dari pintu yang perlahan
berbunyi dengan geseknya berputar membentuk siku-siku.
Takkkk…
Pintu
segera kututup dan tak lupa berdoa kepada Allah swt.
“Ya
Allah, aku ingin ke UNM. Tuntunlah langkahku agar aku dapat menjadi pelipur
kesedihan makhlukmu pagi ini. Aamiin”
Berdoa
sebelum melakukan sesuatu membuatku percaya diri. Allah pasti didekatku.
***
Tadaaaaa…..
Sampai
juga akhirnya. Lega. Kampus ini belum berubah. Ku pikir sudah bergeser 2 cm.
haha. Nah, saatnya mencari teman-teman kecilku yang setiap pagi duduk di sebelah
lapangan basket yang bersebranagn dengan parkiran jurusan Matematika. Kalau jam
segini sih mereka duduk dengan memasang wajah letih, lesu, lunglai. Lelah banget
deh pokoknya.
Aku
perlahan melangkahkan kaki memasuki kampus ini. Beberapa orang menatapku dengan
pandangan yang seolah ingin menerkam. Ya Allah.. apa lagi salahku.? Aku tetap
berjalan dengan menundukkan wajah beberapa derajat dari sebelumnya. Ingin menghindari
pandangan semacam tadi. Sejauh ini, aku berhasil menutup mata dan menganggap
semua ‘kan baik-baik saja dengan kedatanganku.
Desah
bisikan seorang yang kulalui mulai terdengar.
“aduuh,,,,
kenapa sih dia mesti datang?”
Lalu
aku harus bagaimana dengan ini? Aku menoleh kearahnya dan benar sekali. Dia sedang
membicarakanku. Aku merasa sangat sedih. Ingin rasanya aku menangis sekencang
mungkin dan berteriak pada semua orang. Mengapa mereka menatap dan melontar
untaian kalimat yang begitu menyiksaku? Aku tahu mereka sempurna. Aku tahu
mereka memiliki segalanya. Aku juga tahu aku tak seperti mereka. Aku tak
sempurna di mata mereka. Aku bukan apa-apa bagi mereka. Bahkan aku tak memunyai
segala yang mereka miliki. Tapi apakah aku juga tak dapat merasakan kebahagiaan
layaknya mereka yang merasa dunia milik mereka? Apakah aku tak dapat merasa
tenang ketika melangkahkan kaki berjalan ke manapun aku mau? Apakah aku tak
layak mendapat senyum walau hanya sedetik dari mereka.?
Aku
bahkan tak tahu bagaimana menghadapi itu semua. Mereka menatapku sinis, aku
hanya tertunduk. Mereka mencemooh, aku hanya dapat berlalu dan menutup telinga.
Tapi mata dan telinga yang tertutup tak menjadi jaminan hatiku juga tertutup
oleh luka yang mereka ukir.
Aku
sudah menduga sebelumnya. Hal ini yang membuatku begitu ragu. Yang ku tahu,
Allah menciptakanku dengan alasan yang pasti. Allah memberiku wujud seperti ini
juga dengan alasan. Karena aku hidup bukan sebagai pelengkap beraneka ragam
bentuk di dunia ini. Tapi aku ada karena Tuhanku Allah swt. Langit memandangiku
dengan sorot matanya yang tajam. Sedih yah melihatku? Kali ini aku mungkin
hanya mencoba tegar dihadapan beberapa manusia yang tak senang dengan
kehadiranku.
Tahu
tidak kalian? Aku diciptakan tanpa tangan, dan tanpa hidung. Aku hidup karena
Kekuasaan Allah. Keadaanku yang seperti inikah yang membuat orang-orang
melihatku ketakutan? Bahkan melihatku dengan pandangan merendahkan. Hal inikah
yang membuat mereka risih dengan kehairanku.? Aku tak henti bertanya dalam
hati. Ya. Hanya “ya” yang menjadi jawab atas tanyaku.
Lalu,
apakah aku begitu mengusik mereka? Mengapa tak sedikit dari mereka yang berlari
menjauhiku? Tak sedikit dari mereka yang berlindung pada punggung orang lain karena
ketakutan padaku. Tak sedikit juga dari mereka yang mendendangkan kekesalan dan
penyesalan akan hadirku.
Kawan,
aku juga ciptaan Allah. Dapatkah kalian menerimaku apa adanya.? Aku ingin
menjalin persaudaraan. Aku tak pernah iri dengan kesempurnaan kalian. Aku juga
tak pernah menyesal ditakdirkan seperti ini. Sampai pada saat kalian yang
justru menyesalkan hadirku.
***
Terpuruk,
terjatuh, dan sangat terluka. Itulah hal yang kurasakan setiap kali berjalan
keluar rumah. Aku harus kuat. Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini. Setidaknya
aku masih memiliki teman kecil yang mungkin masih berada di tempat kami bermain dulu. Tangis yang
mulai tak tertahankan kini meluap. Aku hanya berharap dapat bertemu temanku
dengan cepat dan menceritakan segala hal yang kurasakan. Aku rindu canda tawa
mereka. Aku rindu senyum mereka saat melihatku. Aku rindu ketika menari bersama
mereka. Aku belajar arti hidup juga dari mereka.
Mereka
hanya anak kecil pencari sesuap nasi dengan menyapu lapangan tiap pagi dari
dedaunan pohon yang gugur, sampah yang berserakan akibat ketidakdisiplinan
hidup, dan beraneka kotoran yang ada. Mereka melakukan itu demi membantu
orangtua mereka. Bersekolah tak dapat mereka rasakan akibat tuntutan kehidupan.
Mereka seringkali menceritakan cita-cita mereka. Salah satunya ingin memunyai
mobil putih seperti yang terparkir tepat disebelah lapangan tempat dia mencari
nafkah. Ada juga yang ingin bersekolah dan berkuliah di jurusan matematika. Setiap
hari mereka memandangi hal yang mereka inginkan dan berharap mereka dapat
meraihnya dengan kekuatan doa dan kerja keras.
Mereka
hanya anak kecil berusia sekitar 7 tahun. Tapi mereka justru jauh lebih dewasa
menantang hidup dibandingkan aku yang sudah berusia lebih tua dari mereka. Aku terkadang
malu ketika mengeluh dihadapan mereka. Mereka adalah anak-anak kuat yang
menyelingi hari mereka dengan tawa lepas yang mereka anggap sebagai cara
menikmati hidup. Aku ingin seperti mereka yang mampu tegar menyongsong
matahari.
***
Hey…
itu mereka. Ya. Aku rasa itu mereka. Aku ingin memeluk mereka dengan
sekencang-kencangnya. Bahagia dapat bertemu mereka. Tapi apa mereka juga bahagia
melihatku? Atau bahkan sudah melupakanku.? Ah..aku rasa tidak. Mereka anak
baik.
Tunggu,
mereka ber-4 tampak berbeda. Tak biasanya mereka beralaskan sepatu. Mereka juga
menggendong ransel yang dulunya hanya karung sampah. Seragam. Mereka dulu hanya
menggunakan baju lusuh dengan beberapa sobekan. Ya, mereka sekarang sudah bersekolah
rupanya. Aku turut bahagia kawan. Aku ingin memberi selamat kepada mereka.
Spontan
aku berteriak kencang dan memanggil mereka.
“siska….dinda..andi..farel…”
Mereka
menengok ke arahku dan terlihat sangat bahagia. Mereka ternyata masih
mengingatku. Tak kusangka reaksi mereka justru lebih antusias. Mereka berlari
kearahku. Akupun tak kuasa diam disini. Aku berlari ke arah mereka. Aku terdiam
ketika mereka melepaskan seragam merah putih yang mereka kenakan, sepatu hitam,
dan ransel mereka. lalu meletakkan dibawah pohon yang agak besar. Mereka kembali
berlari dan bersorak akan kehadiranku.
Aku
bahagia. Sangat behagia. Aku memeluk mereka dengan lembut. Kami menari bersama,
bercanda gurau, dan saling bercerita.
“Selamat
yah teman-teman. Kalian kini sudah bersekolah. Kejarlah cita-cita kalian. Jadilah
manusia yang mulia. Kalian adalah penerus bangsa dan khalifah. Senantiasalah bersyukur”
Aku
bangga pada mereka yang tak sombong dengan perubahan yang mereka dapatkan. Mereka
dapat bersekolah dan tak lagi menjadi tukang sapu. Ternyata mereka dibiayai
oleh seorang pengusaha muda yang selalu memerhatikan kegigihan mereka dalam
menatap kehidupan. Mereka juga masih mau bermain denganku. Mereka malah
terlihat begitu bahagia.
“Ya
Allah, jadikan mereka anak bangsa yang mengharumkan nama negeri ini. Jadikan mereka
khalifah yang mengiring para muslim mengabdi memujamu. Jadikan mereka anak yang
tetap menjaga semangat mereka dalam menjalani hidup. Jadikan mereka insan yang
dapat melalui segala ujianmu”
Merekapun
membisikkan pesan padaku yang sangat menyejukkan jiwaku.
“Hujan,
lama tak bertemu. Kami merindukanmu. Kau selalu menjadi penyegar jiwa dan hati
kami. Kau ciptaan Allah yang membawa berkah bagi kehidupan dunia ini. Terimakasih
HUJAN”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar